Kamis, 29 April 2010

Akar Masa Lalu yang Masih Belum Tercabut di Era Reformasi

Setelah jaman Orde Baru (ORBA) berakhir maka terciptalah proses demokratisasi atau dapat disebut sebagai masa transisi menuju masa yang lebih “cerah” di negeri ini. Masalah-masalah dari zaman ORBA tidak kunjung selesai di atasi, malahan orang-orang lama yang ada di jaman tersebut kini masuk kembali pada jaman yang seharusnya bersih dari “noda hitam” masa lalu dengan membawa masalah lama pada jamannya dan membuat masalah baru di jaman ini. Soeharto dan keluarganya dihujat habis-habisan sementara orang-orang lain yang berada di sekitarnya terselamatkan atau menyelamatkan diri. Orang-orang yang selamat itu, yang sebenarnya mereka juga tak terlepas dari “dosa-dosa” jaman ORBA, kini menghujat habis-habisan Soeharto.

Mereka yang selamat dari “mata hukum” dan “mata publik” kini menampilkan kekonyolan-kekonyolan yang sangat menjijikan. Menurut Eep Saefulloh Fatah, mereka memiliki tiga hal konyol yaitu: pertama, mereka seolah-olah baru lahir dan berpolitik ketika Gerakan Reformasi 1998 marak dan Soeharto jatuh. Kedua, tanpa kompetensi dan kredibilitas moral, mereka dengan keras menghujat moralitas politik. Mereka berubah dari posisi “terdakwa sejarah” menjadi hakim sejarah dan Soeharto dan keluarganya mereka taruh sebagai tertuduh yang didakwa “membunuh Indonesia tanpa persekongkolan”. Ketiga, mereka menggugat segala produk ORBA seakan-akan mereka tidak terlibat dari pembuatan produk itu dan tidak merasa bahwa mereka bagian dari produk itu.

Produk baru yang dinamakan “Jaman Reformasi” ini diharapkan oleh banyak warga masyarakat dapat membawa “pencerahan” di negeri yang masa lalunya sangat pedih dan menyakitkan untuk diingat, dimana manusia yang telah tercipta dan ditakdirkan untuk bebas tidak dapat menikmati kodratnya itu. Harapan-harapan tersebut mungkin akan menjadi sebuah “mimpi di siang bolong” apabila kita masih memakai paradigma lama yang menyerahkan segala tugas atau urusan kerja kebangsaan pada tokoh-tokoh, pada elite-elite, dan pada pejuang besar. Indonesia hanyalah sebuah “nama” yang bukan semua urusan untuk menjaga kesucian, keutuhan, dan keberadaan dari “nama” itu adalah tugas dari sebagian kecil orang yang memiliki nama besar yang mungkin merupakan produk dari masa lalu dari sebuah masa kelam. Indonesia adalah “nama” yang didalamnya terdapat rakyat Indonesia yang harus bersama-sama mempertahankan Indonesia.

Daftar Pustaka

─ Eep Saefulloh Fatah, Bangsa Saya yang Menyebalkan, Penerbit Rosda,
Bandung, 1998.



Oleh: King Buana

Sabtu, 27 Maret 2010

Revolusi

Revolusi adalah kata yang mengingatkan kita pada suatu perubahan yang akan terjadi setelahnya. Keadaan dimana masyarakat tertekan oleh sesuatu kekuasaan yang amat besar yang datangnya dari para elit, dapat saja menimbulkan revolusi. Perasaan jenuh terhadap suatu keadaan atau sistem yang ada pun dapat melahirkan revolusi. Perancis, sebut saja Revolusi Perancis yang terjadi karena kekuasaan Raja Louis yang bersifat mutlak, yang mengakibatkan terbelenggunya kebebasan rakyat dalam bermasyarakat.

Negara kita mengenal Reformasi, yang disebut dapat membawa perubahan dalam kehidupan bernegara. Pada Era ORBA muncul suatu perasaan yang sangat menjenuhkan bagi rakyat Indonesia. Rakyat tidak bebas menunjukkan ekspresinya terhadap berbagai tuntutannya dalam suatu kebijakan yang telah di buat oleh penguasa. Ada istilah: kesabaran manusia ada batasnya. Bila ia dapat terus bersikap sabar hingga akhir hayatnya maka ia adalah seorang Rasul. Terjadi revolusi yang menuntut agar ditegakkannya hak-hak asasi – dan itu berarti hak asasi tiap individu, tidak peduli kaya atau miskin? Ataukah buat mengangkat derajat si miskin, dan sebab itu harus mengabaikan hak asasi si kaya?.

Revolusi atau reformasi sama-sama menginginkan perubahan. Suatu perubahan harus di bayar mahal dengan hilangnya banyak nyawa. Seorang filosof Berdyaev berkata “ Revolusi adalah kegilaan, suatu obsesi yang menyerang kepribadian, melumpuhkan kebebasannya, dan menundukkannya sepenuhnya pada suatu kekuatan yang impersonal serta tak berkemanusiaan”. Lantas perubahan apa yang kita rasakan setelah adanya reformasi yang telah memakan banyak nyawa yang dulunya mereka adalah manusia yang telah termakan oleh hantu kolektivisme yang telah memusnahkan ketunggalan kepribadian mereka.

Perubahannya hanya terletak pada, zaman ini sekarang hanya telah berganti nama saja yaitu, Era Reformasi. Perubahan yang terlihat di zaman yang baru ini adalah telah adanya proses demokratisasi, namun tidak berjalan efektif. Adanya kebebasan mengekspresikan tuntutan terhadap kebijakan negara, namun suara rakyat tidaklah di dengar, karena mereka hanyalah salah satu unsur yang terdapat dari sistem yang baru ini.

Segala kerugian yang diakibatkan oleh revolusi atau reformasi yang keduanya telah mengakibatkan ketakutan pada manusia yang mencintai ketenangan tidaklah dapat tergantikan. Revolusi tidaklah membawa perubahan. Realitas manusia adalah bebas, secara asasi dan sepenuhnya bebas, menurut Sartre ini, tidaklah dapat diwujudkan dengan revolusi, justru sebaliknya ia hanya menjadikan individu sepenuhnya tak bermakna.


Oleh: King Buana





Daftar Pustaka:
─Goenawan Mohamad.,Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
─Fuad Hassan., Berkenalan Dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992).

Senin, 22 Maret 2010

Makhluk Berkesadaran

Enam menit menjelang pukul tujuh malam, tepat di perempatan Rawasari setelah Bypass Pramuka. Saya terjebak disini, lampu merah selama tiga menit, selalu. Hari ini sedikit berbeda, ada pemandangan yang menarik perhatian saya, sangat menarik. Seorang bapak paruh baya, mengenakan kemeja putih (atau yang tadinya putih hingga sekarang menjadi kecoklatan) lusuh sobek dan sangat dekil, celana pendek dengan kondisi yang tidak jauh beda dengan atasannya tanpa menggunakan alas kaki. Dan yang paling membuat mata saya fokus adalah dia membawa sebuah botol bekas air minum mineral yang diisi dengan banyak kerikil kecil, sangat lembut ia memegang botol bekas itu seolah teman lama yang sudah lama tidak bersua, kuasumsikan itu digunakan untuk mengamen, hidupnya bergantung pada botol bekas berisi kerikil itu. Dia berjalan tergopoh-gopoh di depan para pengendara yang sedang menanti lampu berganti merah ke hijau, termasuk saya, pelan dia berjalan dan terseok. Menyisir pinggiran bis untuk sampai ke trotoar seberang. Pemandangan itu hanya sekilas saja, sebentar, terlalu cepat. Namun sosok pria tua itu terus memenuhi pikiran saya sampai beberapa kilometer ke depan, sampai di rumah, sampai jari ini bertemu papan ketik di kamar saya. Saya iba, entah kenapa, malam itu saya iba. Pertanyaannya, apakah saya pantas iba? Saya sama sekali tidak mengenal pria tua itu, melihatnya pun baru pertama kali ini. Lantas kenapa saya bisa begitu iba? Sepanjang jalan pulang saya berpikir, membuat imitasi eksistensi si bapak dalam alam kesadaran saya, dan saya membuat latar sejarah si bapak hingga kehidupannya kini, sekarang saya adalah Tuhan bagi eksistensi palsu bapak tua tadi yang ada di pikiran saya.
Lalu saya teringat Jean Paul Sartre saat menerangkan hubungan antar manusia, perkataannya yang paling saya ingat “aku adalah makhluk berkesadaran dalam makhluk berkesadaran yang lain, dalam dunia wujud untuk wujud yang lainnya. Wujud untuk wujud lain memiliki dua bentuk” saya ingat benar teori Sartre yang itu, yang kemudian baru saya mengerti dari kasus si bapak tua. Kesadaran si bapak saya ciptakan dalam kesadaran saya sebagai makhluk kesadaran lain diluar eksistensi bapak tadi. Dengan kata lain, bapak itu memiliki dua wujud berkesadaran. Yaitu wujud dirinya sendiri berdasarkan kesadaran dan eksistensi sang bapak itu sendiri dan wujud yang kubangun berdasarkan kesadaran dan eksistensi diriku sendiri sebagai eksistensi lain. Eksistensi si bapak saya mainkan dalam alam pikiran saya sebagai sang pencipta wujud bapak tadi yang kedua, saya mainkan layaknya Tuhan memainkan bonekanya. Jahatkan saya? Saya tidak bisa menjawab itu, hidup bukanlah serangkaian repetisi. Evolusi pikiran manusia selama 10.000 tahun membuat penciptaan tak pernah usai, jika pemcipataan alam berhenti maka yang berjalan adalah penciptaan dari alam pikiran kita. Kita dapat bertindak sebagai Tuhan dalam pikiran kita, tidak terikat pada konsensus dan norma-norma yang terikat dalam realitas sosial. Saya menjadi sepenuhnya sadar atas diriku hanya ketika saya sadar bahwa saya adalah sesosok objek bagi persepsi orang lain. Dalam kasus si bapak, saya lah pengendali kesadaran itu. Dia tidak sadar bahwa dirinya diobjektifikasi oleh subjektif saya. Lantas bagaimana saya tahu bahwa diri saya terobjektifikasi atau tidak? Sartre menjawab hanya dengan menyadari bahwa saya adalah sebuah objek bagi orang lain, tubuh yang aktif dan diperuntukkan bagi persepsi dan asumsi orang lain. Kembali ke pertanyaan awal, pantaskah saya iba terhadap kondisi si bapak? Jawabnya YA!


-nyoman indra kresna wijaya, anggoro kasih, 20:37, 22 maret 2010-

Rabu, 20 Januari 2010

Semua Manusia Berbeda

Semua manusia berbeda, tidak ada manusia normal (biasa). Saya menyatakan semua manusia berbeda bukan saya menganggap semua manusia berbeda. Bila dilihat dari pernyataan pertama saya: saya menyatakan semua manusia berbeda, pada dasarnya setiap manusia (setiap individu) adalah berbeda. Mereka memiliki takdir, nasib, kemampuan, dan memiliki keterbatasannya masing-masing. Saya memang berbeda dengan anda, hal ini dapat dilihat dari kelebihan dan kekurangan antara saya dan anda. Berbeda dengan pernyataan yang kedua: saya menganggap semua manusia berbeda. Dalam pernyataan ini saya menganggap bahwa saya manusia normal (biasa) dan ada manusia yang berbeda dari saya. Apa patokan manusia dianggap normal? Apakah jawabannya adalah budaya?. Budaya adalah alat untuk mengatur tata perilaku hidup manusia. Budaya tercipta karena adanya kesepakatan bersama dalam masyarakat setempat. Betapa kejamnya budaya dalam mengatur eksistensi manusia. Pada dasarnya eksistensi adalah kebebasan.

Individu berhak menentukan pilihan mereka sendiri, bukan ditentukan. Budaya menciptakan manusia normal (biasa), sementara mereka manusia yang memiliki kelebihan maupun kekurangan menjadi manusia yang berbeda,.mereka tidak punya pilihan dalam menentukan keberadaannya sebagai manusia yang berbeda. Mereka di paksa mengikuti nilai budaya yang ada, tetapi tetap saja mereka tidak dapat mengikuti suatu ukuran yang normal (budaya) karena, diantara mereka ada yang memiliki kemampuan dibawah garis normal dan ada yang memiliki kemampuan diatas garis normal. Akibatnya mereka menjadi manusia yang dianggap berbeda oleh manusia normal (biasa). Kelebihan dan kekurangan keduanya dapat dianggap berbeda oleh orang lain. Orang yang memiliki kekurangan dianggap berbeda, orang yang memiliki kelebihanpun juga dianggap berbeda. Alhasil mereka yang memiliki kelebihan dan kekurangan, hidup dalam kesendirian dan kesedihan karena mereka berbeda dari yang lain.

Sangat disayangkan apabila kita menganggap diri kita sebagai manusia yang normal (biasa), itu sama saja kita telah menganggap kita yang normal dan mereka yang tidak normal. Hal ini juga telah menghilangkan eksistensi kita sebagai manusia. Karena pada asas pertama eksistensialisme Sartre berkata: Manusia tidak lain ialah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Apabila kita terikat oleh suatu ikatan normal (budaya) maka kita tidak dapat menjadi diri kita sendiri. Budaya telah mengatur hidup mereka dan telah membuat mereka sebagai manusia normal.

‘Apabila kau menemui seorang yang memiliki keterbelakangan mental, apakah kau akan beranggapan bahwa sayalah manusia normal? Dan apabila kau memiliki teman yang pemikirannya jauh kedepan dan berbeda dengan teman-temanmu, juga termaksud kau. Apakah kau menganggap ia orang yang tidak normal?’

Tidak ada manusia yang normal (biasa), semua manusia pada hakikatnya adalah berbeda. Saya bertemu dengan seorang yang tidak dapat melihat, maka saya menyatakan bahwa ia memang berbeda dengan saya. Saya tidak menganggap dia berbeda.

Mengakui perbedaan bukanlah suatu rintangan untuk mencapai keselarasan dan keharmonisan dalam hidup bersama, melainkan menganggap adanya suatu perbedaanlah yang dapat menciptakan ketidakserasian hidup antar sesama.

oleh: King Buana

Minggu, 17 Januari 2010

Elizabeth Bathory

Bosen ngebahas filsafat jadi sekarang temanya sejarah Eropa abad pertangahan aja yaa. Hmmm, pernah dengar nama Elizabeth Bathory gag? Kalo belum ini gue ada sedikit cerita tentang doi... silakan dibaca, itung-itung membunuh bosan. Hha.


(ini lukisan Elizabeth Bathory sat berusia 25 tahun)


Elizabeth Bathory merupakan pembunuh berantai terbesar dalam sejarah. Tercatat kurang-lebih 650 nyawa manusia melayang sia-sia ditangannya. Ini adalah pencapaian rekor pembunuhan berantaiu terbesar yang pernah dilakukan individu dengan korban terbanyak sepanjang sejarah umat manusia.
Elizabeth Bathory lahir di Hungaria pada tahun 1560, krang lebih 100 tahun setelah Vlad “the Impaler” Dracul meninggal. Kakek buyut Elizabeth adalah Prince Stephen Bathory yang merupakan salah satu ksatria yang memimpin pasuka Vlad Dracul ketika ia merebut kekuasaan di Wallachia seabad sebelumnya. Orangtua Elizabeth, George dan Anna Bathory adalah bangsawan yang kaya raya dan merupakan salah satu keluarga ningrat yang paling berpengaruh di Hungaria pada masa itu, keluarga besarnya juga terdiri dari orang-orang terpandang. Bahkan pamannya, Stepehen kemudian menjadi raja Polandia. Namun rupanya keluarga Bathory memiliki sisi gelap yang misterius selain segala kekayaan dan popularitasnya, disebutkan bahwa salah satu kerabatnya adalah seorang Satanis dan penganut Paganisme, sementara sepupunya yang lain memiliki kelainan jiwa dan gemar melakukan kejahatan seksual.
Pada tahun 1575, di usia 15 tahun Elizabeth menikah dengan Count Ferencz Nadasdy yang 10 tahun lebih tua darinya. Karena suaminya berasal dari ningrat yang lebih rendah, maka Count Ferencz Nadasdy menggunakan nama Bathory dibelakangnya. Dengan demikian Elizabeth bisa tetap menggunakan nama keluarganya yaitu Bathory dan tidak menjadi Nadasdy. Kedua pasangan tersebut tinggal di Kastil Csejthe, yang merupakan sebuah kastil diatas pegunung dengan desa Csejthe dilembah bawahnya. Suaminya jarang mendampingi Elizabeth karena Count Ferencz lebih sering berada di medan pertempuran melawan Turki Usmani (Ottoman). Ferencz kemudian menjdai terkenal karena keberaniannya di medan pertempuran dan dianggap sebagai pahlawan Hungaria dengan julukan “Black Hero of Hungary”.
Elizabeth yang masih muda tentu senantiasa merasa kesepian karena selalu ditinggal sang suami. Disebutkan dia memiliki kebiasaan mengagumi kecantikannya dan kemudian memiliki banyak kekasih gelap yang melayaninya selama sang suami tidak berada di tempat. Elizabeth bahkan pernah melarikan diri bersama kekasih gelapnya namun kemudian
kembali lagi dan suaminya memaafkannya. Tapi hal tersebut tidak mengurangi ketagihan Elizabeth akan kepuasan seksual. Disebutkan juga Elizabeth menjadi seorang biseksual dengan melakukan hubungan lesbian dengan bibinya, Countess Klara Bathory. Elizabeth kemudian mulai terpengaruh dengan Satanisme yang diajarkan oleh salah satu pelayan terdekatnya yang bernama Dorothea Szentes atau yang sering disebut Dorka. Karena pengaruh Dorka, Elizabeth mulai menyenangi kepuasan seksual lewat penyiksaan yang dilakukan terhadap pelayan-pelayan lainnya yang masih muda. Selain Dorka, Elizabeth juga dibantu oleh beberapa pelayan lainnya, yaitu, Suster Iloona Joo, pelayan pria Johaness Ujvary dan seorang pelayan wanita yang bernama Anna Darvula, yang merangkap sebagai kekasih Elizabeth.
Bersama para kru Sado-Masokis nya, Elizabeth mengubah Kastil Csejthe menjadi pusat teror dan penyiksaan seksual. Para gadis muda yang menjadi pelayannya menjadi korban dengan berbagai cara penyiksaan, mulai dari diikat, ditelanjangi lalu dicambuk dan menggunakan berbagai alat untuk menyakiti bagian-bagian tubuh tertentu. Pada tahun 1600, suaminya Count Ferencz meninggal dunia, dan era teror yang sesungguhnya baru dimulai. Memasuki umur 40 tahun, kecantikan Elizabeth mulai memudar. Kulitnya menunjukan tanda-tanda penuaan dan keriput yang sebenarnya wajar pada usianya. Namun Elizabeth adalah pemuja kecantikan dan ia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kecantikannya. Suatu saat seorang pelayan sedang menyisir rambutnya dan tidak sengaja menarik rambut Elizabeth terlalu keras. Elizabeh yang marah menampar gadis malang tersebut dan darah memancar dari hidung si pelayan kemudian mengenai tangan Elizabeth, saat itu ia “percaya dan menduga” bahwa darah gadis muda tersebut memancarkan cahaya kemudaan mereka. Kemudian ia memerintahkan kedua pelayannya Johaness Ujvary dan Dorka menelanjangi gadis tersebut, menarik tangannya keatas bak mandi dan memotong urat nadinya. Ketika si gadis mati kehabisan darah, elizabeth segera masuk ke dalam bak mandi dan berendam dalam kubangan darah.
Elizabeth menemukan apa yang dipercayanya sebagai “rahasia awet muda”. Ketika semua pelayan mudanya sudah mati, Elizabeth mulai merekrut semua gadis desa disekitar kastilnya untuk menjadi pelayannya. Dapat diketahui nasib mereka selanjutnya, mereka diikat diatas bak mandi kemudian urat nadinya dipotong hingga darah mereka menetes habis ke dalam bak mandi. Seringkali Elizabeth berendam di dalam kolam darah sambil menyaksikan korbannya sekarat meneteskan darah hingga meninggal, bahkan sesekali Elizabeth meminum darah para gadis korbannya tersebut. Lama kelamaan, Elizabeth merasa bahwa darah para gadis desa tersebut masih kurang baginya. Demi mendapat darah yang lebih berkualitas ia menculik para putri bangsawan rendahan dan melakukan hal yang sama dengan para korban sebelumnya, semakin lama penculikan yang dilakukan oleh Elizabeth semakin sering. Namun hal itu justru menjadi bumerang bagi dirinya, karena hilangnya para gadis tersebut dengan cepat mendapat perhatian di kalangan bangsawan, orang-orang berpengaruh hingga raja Hungaria sendiri.
Tanggal 30 Desember 1610, sepasuka tentara dibawah pimpinan sepupu Elizabeth sendiri menyerbu Kastil Csejthe di malam hari. Mereka semua terkejut melihat pemandangan yang mereka temukan di dalam kastil tersebut. Mayat gadis yang pucat kehabisan darah tergelatak diatas meja makan, seorang gadis lagi yang masih hidup namun sekarat ditemukan terikat di tiang dengan kedua urat nadi disayat hingga meneteskan darah, di ruang mandi ditemukan tiang tempat lilin yang diujungnya terdapat beberapa kepala yang masih segar menetaskan darah, dibagian penjara ditemukan belasan gadis yang ditahan menunggu untuk dijadikan korban berikutnya. Kemudain diruang bawah tanah ditemukan lebih dari 50 mayat yang sebagian besar sudah mulai membuasuk. Selama pengadilan atas Elizabeth Bathory di tahun 1611, sekurang-kurangnya 650 daftar nama korban yang didapat dari laporan berbagai pihak, mulai dari keluarga petani hingga dari keluarga bangsawan. Elizabeth sendiri tidak pernah didatangkan secara langsung untuk menjalani persidangan, hanya ke-empat pelayannya yang didatangkan dan kemudian dihukum mati. Namun, Elizabeth mendapat hukumannya juga, Raja Hungaria memerintahkan Elizabeth dikurung di dalam kamar kastilnya sendiri selama sisa hidupnya, para pekerja kemudian dikerahkan untuk menutup semua pintu dan jendela ruang kamar Elizabeth dengan tembok hingga hanya menyisakan lubang kecil yang digunakan untuk memasukkan makanan dan minuman sehari-hari.
Tahun 1614, atau empat tahun setelah Elizabeth di-isolasi di tembok kamarnya sendiri, seorang penjaga melihat makan yang disajikan untuk Elizabeth tidak tersentuh selama seharian. Penjaga itu kemudian mengintip ke dalam dan melihat sang Countess tertelungkup dengan wajah dilantai, Elizabeth Bthory “the Blood Countess” meninggal di usia 54 tahun. Bahkan Vlad Dracul tidak pernah berkubang dalam darah atau meminum darah. Oleh sebab itu, julukan “Vampir” sebenarnya lebih cocok untuk Elizabeth Bathory.


ini gambaran saat Elizabeth menikmati waktu mandinya.





diposting oleh: si nyombek...

Minggu, 03 Januari 2010

Antropologi, ilmu yang diciptakan dari dan untuk orang jahat

Dulu orang-orang kulit putih bepergian keliling dunia. Tau kan tujuannya? Yah disingkat ajalah jadi Gospel, Gold, Glory. Mereka berkunjung ke somewhere in nowhere. Ketika mereka sampai, tiba-tiba. Jeng jeeeeeenggg. “apaan nih? Kok beda banget sama tempat kita? Eh ini alien atau apa? Kok mereka kulitnya hitam? Ih itu mereka ngapain?? Aneeeeh!” lalu bangsa pucat itu mencatat segala yang mereka anggap aneh itu untuk diceritakan ke negaranya.

Gospel, Gold, dan Glory sering bikin rusuh! Bangsa pucat itu ternyata cacat! Mereka buta semua. Dibutakan oleh obsesi sampai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara orang-orang yang dibilang aneh tadi menjadi korban dan dijadikan lemah melalui STRATEGI orang-orang kulit putih itu. Catatan mereka berisikan hal-hal berbau kebudayaan. Catatan macam ini, kalo istilah kerennya sekarang disebut etnografi. Dan catatan-catatan ini bisa dibilang cikal bakal ilmu yang sedang kita pelajari, Antropologi.

Tau apa tujuan mereka membuat catatan etnografi? Ya apalagi kalau bukan untuk memuaskan obsesi mereka yang suci itu, Gospel, Gold, Glory. Kalo udah tau budaya bangsa jajahan, mereka akan mencari celah untuk bisa menguasai daerah jajahan. Contohnya Belanda. Mereka mempelajari etnografi Indonesia, terus dia turlap (fieldwork) buat dapetin kekuasaan. Dulu tuh ceritanya Belanda ngedeketin pemimpin-pemimpin kita. Laluuuu… mereka “nyuruh” pemimpin Indonesia untuk buat kebijakan yang memeras rakyat. Misalnya tanam paksa. Sebenarnya mereka tau bahwa kebijakan itu sama sekali gak bijak! Tapi pihak Belanda dengan segala kemunafikannya menjanjikan keuntungan yang besar untuk pemimpin itu kalo dia mau melakukannya. Yaaa… istilah kasarnya disogoklah. Tolol banget gak sih! Kalo dianalogiin nih ya, si cebol (pemerintah) punya 2 permen dan 1 emas. Terus 1 permen diumpetin sama siamang (Belanda) tapi si cebol gak tau. Terus tiba-tiba siamang datang minta emas yang dipunyain cebol dengan ngasih permen yang tadi diumpetin. Dan ajaibnya si cebol bilang,”aku mauuuuuuuuu, nih emasnya” that’s stupid isn’t it? Disogok pake harta milik sendiri. Tau apa penyebabnya? Karena mereka mempelajari Antropologi.

Amerika juga pernah begitu, dan mungkin masih begitu sampe sekarang. Masih inget gak yang waktu itu kita disuruh review budaya politik sama mas adit? Di kertas itu diceritain kalo Ruth Benedict dipekerjakan militer AS untuk mempelajari kebudayaan Jepang. Kira-kira begini ceritanya.

Disuatu ruang rapat, di meja bundar. isinya militer AS (Roger, Burger, Peter, Spidol Marker) dan ada mbak Ruth Benedict juga

Roger : eh gimana nih guys, kita ngebom Tokyo aja yuuu, kayaknya seru tuh kalo kaisarnya mokat?
Spidol Marker : wah boleh-boleh. Nanti gue yang bawa nuklir deh
Peter : yaudah, nanti gue yang bawa rantang sama tiker
Burger : waah, indahnyaaaa.. nanti gue bawa kue lapis ya guys. Masakan ibuku enak deh!
Si Ruth tiba-tiba ngerusak suasana.. Ruth Benedict menghembuskan angin tornado dari bokongnya. Yak dia kentut! *enggak deng, boong*
Ruth : jangaaaaaan! Tau gak sih looo, kmrn tuh gue turlap. Dari data yg gue dapet, orang-orang Jepang bakalan ngamuk kalo kaisarnya metong. Yang ada entar elu dikeroyok masa, mao? Nyaho lo pada!
Mereka semua : apaaah? Jadi kita harus berbuat apa? (sambil nangis Bombay ala bencong) hiks hiks,, iiih Ruth, kamu nakal!
Ruth : mendingan lo ngebom Hiroshima sama Nagasaki aja. Nanti Jepang kalah deh, suwer!
Militer AS : OKE, LET’S GO!

Benar saja, setelah kedua kota tadi di bom. Jepang menyerah tanpa syarat dan PD II meredam. Berjasa sih yaaa “kayaknya.” Antropologi menghentikan perang dunia! Tapi kan tetep aja, berapa orang yang mati di 2 kota tadi? Terus berapa orang cacat di Jepang dan sekitarnya yang sampe sekarang masih kena radiasi nuklir? (fyi: katanya malah ada yang bisa ngeliat nembus tembok gara2 radiasi nuklir ini).

Mari beralih ke jaman modern sekarang ini. Mereka yang awam pasti akan bingung, emangnya antropologi kerjanya jadi apaan sih? Tapi mereka yang expert bisa menyusup di berbagai bidang seperti politik, budaya, perbankan, pemerintahan, pariwisata, biologi, kedokteran, religi, hukum, dll. You know what? They do exist in hidden mission!
Kalo di politik, coba kita liat ke bapak presiden kita si ‘biru besar’  (gak boleh nyebut merk, nanti dituntut kayak pritta lagian, kalopun iya bantuin gw ngumpulin koin ya :P)

Beliau punya seorang penasehat. Tau siapa? Dia alumnus antropologi. Tujuannya? Lagi-lagi, gak usah ditanya, pasti buat hal licik politik yang biasa disebut “strategi politik” blah blah blaaah.. misalnya buat bikin citra si biru bagusss gitu dimata rakyat biar yang milih dia jadi banyak. Lumayan licik kan?

Kalo yang paling nyata nih yang sering gw liat sih di bidang ekonomi. Dan semuanya berkaitan sama kapitalisme, prestise, dan konsumerisme. Ketiga hal ini di-mix melalui blender Antropologi menjadi satu kesatuan yang kita sebut BRAND. Gucci, Dolce Gabbana, Prada, Calvin Klein dan lain-lain. Menurut kalian apa yang bikin mereka bisa sehebat ini? Sebut saja mereka menjual sampah dengan STRATEGI yang hebat sehingga bisa laku dengan harga yang mahal, padahal bisa jadi bahan bakunya gak semahal itu. Itu semua karena mereka mempelajari kultur konsumen! Dan salurannya, tentu saja Antropologi.
Misalnya lagi Indomie, mereka mempekerjakan Antropolog supaya mie mereka bisa laku dijual di Papua yang tentu saja makanan mereka bukan mie, tetapi umbi-umbian (mayoritas) dan kemungkinan besar produk tersebut akan ditolak. Tapi hebat, mereka semua membuat sesuatu yang gak penting jadi penting sehingga selalu dibutuhkan dan voila! Mereka untung besar melalui ilmu yang sedang kita pelajari ini.
Will we become like that? (worrying)

-lina, antrop ui 09-