Sabtu, 27 Maret 2010

Revolusi

Revolusi adalah kata yang mengingatkan kita pada suatu perubahan yang akan terjadi setelahnya. Keadaan dimana masyarakat tertekan oleh sesuatu kekuasaan yang amat besar yang datangnya dari para elit, dapat saja menimbulkan revolusi. Perasaan jenuh terhadap suatu keadaan atau sistem yang ada pun dapat melahirkan revolusi. Perancis, sebut saja Revolusi Perancis yang terjadi karena kekuasaan Raja Louis yang bersifat mutlak, yang mengakibatkan terbelenggunya kebebasan rakyat dalam bermasyarakat.

Negara kita mengenal Reformasi, yang disebut dapat membawa perubahan dalam kehidupan bernegara. Pada Era ORBA muncul suatu perasaan yang sangat menjenuhkan bagi rakyat Indonesia. Rakyat tidak bebas menunjukkan ekspresinya terhadap berbagai tuntutannya dalam suatu kebijakan yang telah di buat oleh penguasa. Ada istilah: kesabaran manusia ada batasnya. Bila ia dapat terus bersikap sabar hingga akhir hayatnya maka ia adalah seorang Rasul. Terjadi revolusi yang menuntut agar ditegakkannya hak-hak asasi – dan itu berarti hak asasi tiap individu, tidak peduli kaya atau miskin? Ataukah buat mengangkat derajat si miskin, dan sebab itu harus mengabaikan hak asasi si kaya?.

Revolusi atau reformasi sama-sama menginginkan perubahan. Suatu perubahan harus di bayar mahal dengan hilangnya banyak nyawa. Seorang filosof Berdyaev berkata “ Revolusi adalah kegilaan, suatu obsesi yang menyerang kepribadian, melumpuhkan kebebasannya, dan menundukkannya sepenuhnya pada suatu kekuatan yang impersonal serta tak berkemanusiaan”. Lantas perubahan apa yang kita rasakan setelah adanya reformasi yang telah memakan banyak nyawa yang dulunya mereka adalah manusia yang telah termakan oleh hantu kolektivisme yang telah memusnahkan ketunggalan kepribadian mereka.

Perubahannya hanya terletak pada, zaman ini sekarang hanya telah berganti nama saja yaitu, Era Reformasi. Perubahan yang terlihat di zaman yang baru ini adalah telah adanya proses demokratisasi, namun tidak berjalan efektif. Adanya kebebasan mengekspresikan tuntutan terhadap kebijakan negara, namun suara rakyat tidaklah di dengar, karena mereka hanyalah salah satu unsur yang terdapat dari sistem yang baru ini.

Segala kerugian yang diakibatkan oleh revolusi atau reformasi yang keduanya telah mengakibatkan ketakutan pada manusia yang mencintai ketenangan tidaklah dapat tergantikan. Revolusi tidaklah membawa perubahan. Realitas manusia adalah bebas, secara asasi dan sepenuhnya bebas, menurut Sartre ini, tidaklah dapat diwujudkan dengan revolusi, justru sebaliknya ia hanya menjadikan individu sepenuhnya tak bermakna.


Oleh: King Buana





Daftar Pustaka:
─Goenawan Mohamad.,Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
─Fuad Hassan., Berkenalan Dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992).

Senin, 22 Maret 2010

Makhluk Berkesadaran

Enam menit menjelang pukul tujuh malam, tepat di perempatan Rawasari setelah Bypass Pramuka. Saya terjebak disini, lampu merah selama tiga menit, selalu. Hari ini sedikit berbeda, ada pemandangan yang menarik perhatian saya, sangat menarik. Seorang bapak paruh baya, mengenakan kemeja putih (atau yang tadinya putih hingga sekarang menjadi kecoklatan) lusuh sobek dan sangat dekil, celana pendek dengan kondisi yang tidak jauh beda dengan atasannya tanpa menggunakan alas kaki. Dan yang paling membuat mata saya fokus adalah dia membawa sebuah botol bekas air minum mineral yang diisi dengan banyak kerikil kecil, sangat lembut ia memegang botol bekas itu seolah teman lama yang sudah lama tidak bersua, kuasumsikan itu digunakan untuk mengamen, hidupnya bergantung pada botol bekas berisi kerikil itu. Dia berjalan tergopoh-gopoh di depan para pengendara yang sedang menanti lampu berganti merah ke hijau, termasuk saya, pelan dia berjalan dan terseok. Menyisir pinggiran bis untuk sampai ke trotoar seberang. Pemandangan itu hanya sekilas saja, sebentar, terlalu cepat. Namun sosok pria tua itu terus memenuhi pikiran saya sampai beberapa kilometer ke depan, sampai di rumah, sampai jari ini bertemu papan ketik di kamar saya. Saya iba, entah kenapa, malam itu saya iba. Pertanyaannya, apakah saya pantas iba? Saya sama sekali tidak mengenal pria tua itu, melihatnya pun baru pertama kali ini. Lantas kenapa saya bisa begitu iba? Sepanjang jalan pulang saya berpikir, membuat imitasi eksistensi si bapak dalam alam kesadaran saya, dan saya membuat latar sejarah si bapak hingga kehidupannya kini, sekarang saya adalah Tuhan bagi eksistensi palsu bapak tua tadi yang ada di pikiran saya.
Lalu saya teringat Jean Paul Sartre saat menerangkan hubungan antar manusia, perkataannya yang paling saya ingat “aku adalah makhluk berkesadaran dalam makhluk berkesadaran yang lain, dalam dunia wujud untuk wujud yang lainnya. Wujud untuk wujud lain memiliki dua bentuk” saya ingat benar teori Sartre yang itu, yang kemudian baru saya mengerti dari kasus si bapak tua. Kesadaran si bapak saya ciptakan dalam kesadaran saya sebagai makhluk kesadaran lain diluar eksistensi bapak tadi. Dengan kata lain, bapak itu memiliki dua wujud berkesadaran. Yaitu wujud dirinya sendiri berdasarkan kesadaran dan eksistensi sang bapak itu sendiri dan wujud yang kubangun berdasarkan kesadaran dan eksistensi diriku sendiri sebagai eksistensi lain. Eksistensi si bapak saya mainkan dalam alam pikiran saya sebagai sang pencipta wujud bapak tadi yang kedua, saya mainkan layaknya Tuhan memainkan bonekanya. Jahatkan saya? Saya tidak bisa menjawab itu, hidup bukanlah serangkaian repetisi. Evolusi pikiran manusia selama 10.000 tahun membuat penciptaan tak pernah usai, jika pemcipataan alam berhenti maka yang berjalan adalah penciptaan dari alam pikiran kita. Kita dapat bertindak sebagai Tuhan dalam pikiran kita, tidak terikat pada konsensus dan norma-norma yang terikat dalam realitas sosial. Saya menjadi sepenuhnya sadar atas diriku hanya ketika saya sadar bahwa saya adalah sesosok objek bagi persepsi orang lain. Dalam kasus si bapak, saya lah pengendali kesadaran itu. Dia tidak sadar bahwa dirinya diobjektifikasi oleh subjektif saya. Lantas bagaimana saya tahu bahwa diri saya terobjektifikasi atau tidak? Sartre menjawab hanya dengan menyadari bahwa saya adalah sebuah objek bagi orang lain, tubuh yang aktif dan diperuntukkan bagi persepsi dan asumsi orang lain. Kembali ke pertanyaan awal, pantaskah saya iba terhadap kondisi si bapak? Jawabnya YA!


-nyoman indra kresna wijaya, anggoro kasih, 20:37, 22 maret 2010-